Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri
Ustadz Muhammad Arifin Badri
Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, Dzat yang telah melimpahkan
berbagai kenikmatan kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amin.
Syariat Islam –segala puji hanya milik Allah- bersifat universal,
mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun
muamalah, sehingga syariat Islam benar-benar seperti difirmankan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku
cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi
agamamu”.[al-Mâ`idah/5:3]
Al-hamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat
Islam, sehingga kini, kita mulai mendengar berbagai seruan untuk
menerapkan syariat ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. Termasuk
wujud dari kesadaran ini, yakni berdirinya berbagai badan keuangan
(perbankan) yang mengklaim dirinya berazaskan syariat. Fenomena ini
patut mendapatkan perhatian, partisipasi dan dukungan dari kita, agar
laju perkembangan dan langkahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan
syariat Islam. Dan pada kesempatan ini, saya ingin sedikit
berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang menurut
hemat saya perlu dikritisi.
Semoga yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah ini.
TINJAUAN PERTAMA : PERANAN GANDA PERBANKAN SYARIAT
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling bertentangan.
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling bertentangan.
Untuk menjelaskan permasalahan ini, cermatilah skema berikut. [Ma'af Skema Peran Perbankan Syariah belum bisa ditampilkan]
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan
nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah,
yaitu bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan
dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.
Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad
yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang
piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia
berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah
amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya.
Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana
tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan),
sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari
nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Sehingga,
bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang
sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik
nasabah.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan
bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima
kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal
itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah
(pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad
mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak
dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan
yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah
kedua bathil”[1].
Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali
rahimahullah, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk
menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk
mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . . Pendapat ini adalah
pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada
ulama’ lain yang menyelisihinya”.[2]
Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda
semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam
menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank
tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya
hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama’ menjelaskan bahwa alasan
hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah
hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak
memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia
tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[3]
TINJAUAN KEDUA : BANK TIDAK MEMILIKI USAHA RIIL
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau
belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua
jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan
dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola,
peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah.[4]
Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah.
Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi
sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari
berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila
demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau
dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah
haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana
yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.
TINJAUAN KETIGA : BANK TIDAK SIAP MENANGGGUNG KERUGIAN.
Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.
Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.
Para ulama’ dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal
tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan
jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan
pada perbankan syari’ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk
mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha
adalah persyaratan yang batil [5]. Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu
akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah satu
dari dua hal berikut:
1. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga
masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan
akadnya.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal
kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian
bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh
tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang
serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp.
20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan
tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp.
100.000.000,-.
Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia
usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian.
Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang
terjadi. Maka kita katakan: Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh
pelaksana usaha: dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan
hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu
perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati,
walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan
perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu: Pertama, ia
telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak
mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup
kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.
Contoh lain dari produk perbankan syariat ialah bai’ al-Murabahah.
Bentuknya kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki
motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah
agar Bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji
kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank
akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya
kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati.[6]
Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati
lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha
untuk menutup segala risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan
barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual-beli dengan
segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual
barang yang belum ia miliki, dan itu adalah terlarang.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنِ ابْتَاعَ
طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ.
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang
membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia
selesai menerimanya” Ibnu ‘Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa
segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan” [Muttafaqun 'alaih].
Pemahaman Ibnu ‘Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit
Radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا
اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا
حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ
خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لَا
تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ
السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى
رِحَالِهِمْ رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu ‘Umar, ia mengisahkan: “Pada suatu saat saya
membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada
seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia
memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami
tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut). Tiba-tiba, ada
seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh,
dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: ‘Janganlah
engkau menjual minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga engkau
pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli,
hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka
masing-masing’.” [HR Abu Dawud dan al-Hakim] [7]
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah
karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal,
karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak
terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali
ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘anhu ketika muridnya, yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ كَيْفَ ذَاكَ قَالَ ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ
“Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia
menjawab: “Itu, karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham
dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda”.[8]
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebagaimana
berikut: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar
–misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual,
sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia
menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung
menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap
berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah
menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan
penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan
saja”.[9]
TINJAUAN KEEMPAT : SEMUA NASABAH MENDAPATKAN BAGI HASIL.
Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.
Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.
Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang
benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan
keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari
masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum
disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab
keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah
selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum
tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.
Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena
itu, tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over
likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana
masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang
terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat untuk
menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia (BI)
dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode Januari
2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari
nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil
mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.[10]
TINJAUAN KELIMA : METODE BAGI HASIL YANG BERBELIT-BELIT
Bila kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya rendah.
Bila kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya rendah.
Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:
Bagi hasil nasabah = dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah
………………………….. 1000 …………………………….. 100
………………………….. 1000 …………………………….. 100
E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.
Dapat dilihat dengan jelas,bahwa salah satu pengali dalam perhitungan
hasil pada skema di atas adalah total modal (dana) nasabah. Adapun
dalam akad mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau
hasilnya, oleh karenanya akad ini dinamakan bagi hasil.
Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Rukun mudharabah kelima adalah
keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, di antaranya,
keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua
sama-sama memilikinya, dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka
ditentukan dalam prosentase.”[11]
Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah
yang benar-benar syar’i sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema
pembagian hasil dalam akad mudharabah:
Bagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh bank.
Perbedaan antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh berikut.
Pak Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. 100.000.000,- dengan
perjanjian 50 % untuk pemodal dan 50 % untuk pelaku usaha (bank), dan
total uang yang dikelola oleh bank sejumlah 10.000.000.000,- (10
miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1 % dari keseluruhan
dana yang dikelola oleh bank.
Pada akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar
1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank -setelah melalui perhitungan
yang berbelit-belit pula- menentukan bahwa pendapatan investasi dari
setiap Rp. 1.000,- adalah Rp 11,61.
Bila kita menggunakan metode perbankan syariat, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp. 580.500,-
…… 1000 ……………. 100
…… 1000 ……………. 100
Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 580.500,- saja.
Sedangkan bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut:
1.000.000.000 x 1 x 50 = 5.000.000,-
………………… 100 100
………………… 100 100
Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak
Ahmad berhak mendapatkan bagi hasil sebesar Rp: 5.000.000,-. Metode
pembagian yang diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan
nasabah.
Yang lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan
rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh
dari metode yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariat di
Indonesia:
E = (total dana nasabah – Giro Wajib Minimum) x Total pendapatan x 1000
…………………. Total Investasi …………………….. Total dana nasabah
…………………. Total Investasi …………………….. Total dana nasabah
Metode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan
bahwa perbankan syariat yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang
sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa
perbankan syariat yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada
hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan
istilah-istilah syari’ah.
terimakasih atas postingan nya.... bermanfaat dan berdaya guna
BalasHapus