Selama ini kecurangan sistem asuransi tenaga
kerja Indonesia (TKI), terutama terhadap TKI yang mengalami masalah saat
bekerja di luar negeri, tidak banyak yang diungkap dan dipermasalahkan. Kasus
ini seakan dianggap hal yang lumrah saja dan tidak perlu dipermasalahkan. Modus
kecurangannya sangat jelas kerena dilakukan secara terbuka dan dilegalkan oleh
negara atas nama undang-undang dalam hal ini dilaksanakan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Menakertrans). Pemerintah melakukan pungutan sah pembayaran
asuransi oleh perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) kepada
calon TKI (CTKI) sebesar Rp350.000-Rp400.000 per TKI yang disetorkan kepada
perusahaan konsorsium asuransi TKI.
Dalam hal ini, kuat dugaan adanya kemungkinan
persekongkolan yang terencana dari oknum PPTKIS/PJTKI dengan perusahaan
konsorsium asuransi TKI, sehingga tidak heran jika yang terjadi adalah sebagian
besar dari TKI dan keluarganya yang berhak atas asuransi itu hanya pasrah saja.
Akibatnya sangat banyak uang asuransi yang semestinya menjadi hak mereka itu
hangus dan menumpuk hanya untuk mengisi pundi-pundi perusahaan konsorsium
asuransi TKI. Sebagaimana pernah disinyalir dan dipermasalahkan oleh para
pejabat Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI), bahwa selama 2008 saja, jumlah klaim asuransi yang belum dibayarkan
oleh konsorsium asuransi TKI itu mencapai perkiraan angka Rp20 miliar. Dengan
angka sebesar Rp20 miliar itu diperkirakan bahwa perusahaan konsorsium asuransi
TKI telah menahan klaim asuransi sebanyak 2.000 orang TKI bermasalah tanpa
alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum. Dengan temuan itu, BNP2TKI berencana
untuk membawa kasus ini ke Mabes Polri.
Penyimpangan asuransi
Pada prinsipnya kewajiban PPTKIS dalam Pasal 68 Ayat
(1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di
Luar Negeri terkait dengan program asuransi adalah merupakan suatu upaya
positif yang harus dilihat sebagai upaya untuk melindungi TKI yang mengalami
masalah di luar negeri. Namun, prinsip baik tersebut ternyata tidak semulus apa
yang dituangkan dalam undang-undang yang dalam implementasinya kemudian
diserahkan dengan suatu peraturan menteri. Sampai ke tingkat peraturan menteri
ini, maka diaturlah berbagai hal mengenai persyaratan tertentu bagi perusahaan
konsorsium asuransi TKI, dilengkapi dengan penerbitan surat keputusan menteri
yang langsung berhubungan dengan perizinan operasional bagi perusahaan
konsorsium asuransi TKI yang diputuskan memenuhi syarat tersebut.
Tentu saja, secara aturan sebagaimana tertuang di
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-23/MEN/ V/2006
tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia tidak ada hal yang menggambarkan bahwa
penyimpangan terhadap prinsip dasar undang-undang itu secara sengaja
dikehendaki.
Pada
tahun 2009 pengaduan TKI yang mengadu di LBH Yogyakarta tercatat kurang lebih 4
pengaduan dengan jumlah korban mencapai 106 orang yang terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) karena krisis financial global yang terjadi. Setelah
kembali ke Indonesia ternyata Klaim asuransi yang seharusnya di dapatkan TKI
atas PHK yang terjadi oleh diri mereka sangat sulit untuk di dapatkan kalaupun
dapat di klaim jumlahnya tidak sesuai dengan yang di perjanjikan dalam premi.
Dari
jumlah 106 jumlah korban terdiri dari :
•
22 orang adalah TKI dari Perusahaan Jasa TKI Timur Raya yang dipekerjakan
disalah satu perusahaan di Malaysia dengan kontrak kerja selama 2 tahun,
• 71 orang adalah TKI dari Perusahaan Jasa TKI Dian Perdana Jogja yang dipekerjakan di PT. Shin Etsu Malaysia dengan masa kontrak kerja selama 2 tahun.
• 5 orang TKI dari Perusahaan Jasa TKI Mutiara Karya Mitra yang dipekerjakan di PT. Shin Etsu Malaysia dengan masa kontrak kerja selama 2 tahun.
• 8 orang TKI dari Perusahaan Jasa Maha Barokah Rizky yang dipekerjakan disalah satu perusahaan Malaysia dengan masa kontrak kerja selama 2 tahun.
Dari 106 orang TKI yang menjadi klien, hanya 5 TKI yang tidak didaftarkan sebagai peserta asuransi yakni TKI dari Perusahaan Jasa TKI Maha Barokah Rizky. Dalam hal ini merujuk kepada UU. No. 39/2004 bisa dikenakan sanksi administrative(pasal 100) dan sanski pidana yang diatur dalam Kitap Undang-Undang hukum Pidana (pasal 103).
• 71 orang adalah TKI dari Perusahaan Jasa TKI Dian Perdana Jogja yang dipekerjakan di PT. Shin Etsu Malaysia dengan masa kontrak kerja selama 2 tahun.
• 5 orang TKI dari Perusahaan Jasa TKI Mutiara Karya Mitra yang dipekerjakan di PT. Shin Etsu Malaysia dengan masa kontrak kerja selama 2 tahun.
• 8 orang TKI dari Perusahaan Jasa Maha Barokah Rizky yang dipekerjakan disalah satu perusahaan Malaysia dengan masa kontrak kerja selama 2 tahun.
Dari 106 orang TKI yang menjadi klien, hanya 5 TKI yang tidak didaftarkan sebagai peserta asuransi yakni TKI dari Perusahaan Jasa TKI Maha Barokah Rizky. Dalam hal ini merujuk kepada UU. No. 39/2004 bisa dikenakan sanksi administrative(pasal 100) dan sanski pidana yang diatur dalam Kitap Undang-Undang hukum Pidana (pasal 103).
Adapun
101 TKI yang didaftarkan sebagai peserta asuransi, sesuai dengan Permen No. 23
Th 2008 berhak atas klaim asuransi sebesar Rp. 10.000.000. Adapun yang
berkewajiban membayarkan klaim asuransi tersebut adalah Konsorsium Asuransi
yang telah ditunjuk oleh pemerintah, dalam hal ini Konsorsium yang dimaksud
sebagai berikut :
1.
Konsorsium Asuransi Jasindo : Membayar klaim sebanyak 22 TKI dari Perusahaan
Jasa TKI Timur Raya.
2.
Konsorsium Asuransi Bangun Askrida : Membayarkan klaim sebanyak 71 TKI dari
Perusahaan Jasa TKI Dian Jogja Perdana.
3.
Konsorsium Asuransi Paladin : Membayarkan klaim seabnyak 8 TKI dari Perusahaan
Jasa TKI Maha Barokah Rizky dan Perusahaan Jasa TKI Mutiara Karya Mitra.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, yakni Undang-Undang No.39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN), para TKI berhak perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan,dan masa purna penempatan. Akan tetapi dalam kenyataaannya perlindungan sebagai hak konstitusional para TKI banyak yang diabaikan dan dilanggar.
Salah
satu yang diabaikan dan dilanggar adalah hak para TKI yang menjadi korban PHK
untuk mendapatkan klaim asuransi. Didalam Permenakertrans No: 23/MEN/XII/2008
Tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, setiap TKI yang di PHK sebelum masa
kontraknya habis berhak mendapatkan klaim asuransi sebesar Rp. 10.000.000.
Adapun kewajiban untuk membayarkan klaim tersebut dibebankan kepada Konsorsium
Asuransi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Walupun sudah ada dasar hukum yang jelas, Klaim Asuransi sebagai hak tidak selalu otomatis didapatkan oleh para mantan TKI. Pada kenyataannya, seluruh Konsorsium Asuransi dengan berbagai alasan tidak menjalankan kewajiban membayar klaim asuransi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dari pengalaman LBH Yogyakarta semester pertama tahun 2009 dalam mendampingi pengurusan asuransi TKI korban PHK, seluruh Konsorsium Asuransi dengan alasan belum terpenuhinya persyaratan untuk pengajuan klaim asuransi yang meliputi 1) Perjanjian Kerja, 2) Perjanjian Penempatan, 3) Surat keterangan PHK dari pengguna dan atau, 4) surat keterangan dari perwakilan republik indonesian di negara penempatan. Maka Konsorsium Asuransi dengan seenaknya sendiri memperlambat pencairan klaim asuransi tersebut. Padahal didalam Permen No. 23 tahun 2008 seharusnya pencairan klaim asuransi paling lambat 7 (tujuh) hari sejak pengajuan diterima.
Walupun sudah ada dasar hukum yang jelas, Klaim Asuransi sebagai hak tidak selalu otomatis didapatkan oleh para mantan TKI. Pada kenyataannya, seluruh Konsorsium Asuransi dengan berbagai alasan tidak menjalankan kewajiban membayar klaim asuransi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dari pengalaman LBH Yogyakarta semester pertama tahun 2009 dalam mendampingi pengurusan asuransi TKI korban PHK, seluruh Konsorsium Asuransi dengan alasan belum terpenuhinya persyaratan untuk pengajuan klaim asuransi yang meliputi 1) Perjanjian Kerja, 2) Perjanjian Penempatan, 3) Surat keterangan PHK dari pengguna dan atau, 4) surat keterangan dari perwakilan republik indonesian di negara penempatan. Maka Konsorsium Asuransi dengan seenaknya sendiri memperlambat pencairan klaim asuransi tersebut. Padahal didalam Permen No. 23 tahun 2008 seharusnya pencairan klaim asuransi paling lambat 7 (tujuh) hari sejak pengajuan diterima.
Alasan selanjutnya yang digunakan oleh seluruh Konsorsium Asuransi adalah tidak adanya ketentuan didalam Undang-Undang dan Polish Asuransi bahwa TKI yang di PHK akibat Krisis Global berhak mendapatkan klaim asuransi, sehingga dengan alasan tersebut Konsorsium Asuransi hanya membayarkan klaim asuransi sesuai dengan kemauan dan kemampuan mereka saja. Selama tahun 2009 ini, dengan alasan tersebut diatas seluruh Konsorsium Asuransi hanya membayarkan klaim asuransi yang menjadi hak-nya para TKI yang di PHK hanya sebesar Rp. 4.000.000.
Kebijakan Pemerintah Tidak Memihak TKI
Pemasalah
TKI tersebut akan terus berulang karena kebijakan pemerintah tidak jelas dalam
menerbtkan regulasi TKI, Hal tersebut dipicu oleh penerbitan Peraturan Menteri
Tenagakerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor : Per-23/ MEN/V/2006
tentang Asuransi TKI yang diganti dengan aturan terbaru yaitu Permenakertrans
Nomor : PER-23/MEN/XII/2008 tentang Asuransi TKI dan Keputusan Menteri
Tenagakerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor : KEP-280/MEN/VII/2006
tentang penetapan Konsorsium Asuransi TKI yang terdiri dari beberapa perusahaan
asuransi komersial dan satu pialang asuransi sebagai penyelenggara program
asuransi TKI yang bersifat wajib.
Berdasarkan
dua regulasi Menakertrans itu, Perusahaan Jasa TKI diwajibkan membayarkan premi
asuransi kepada Konsorsium Asuransi yang diketuai oleh PT Asuransi Jasa Raharja
Indonesia melalui rekening pialang asuransi PT.Grasia Media Utama. Yang
merupakan perusahan privat yang bersifat komersial.
Persoalan tersebut muncul karena Permenakertrans dan Kepmenakertrans itu mengatur hal yang sama tapi dengan ketentuan yang berbeda dengan Undang-Undang No 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, seperti asuransi TKI yang diwajibkan berdasarkan pasal 68 UU No 39 Tahun 2004 (PPTKILN), merupakan program asuransi sosial yang hanya dapat diselenggarakan oleh BUMN. Seperti terungkap dalam penjelasan pasal 9 UU Usaha Perasuransian, keberadaan BUMN yang menyelenggarakan program asuransi bersifat social itu didasarkan pada Undang-undang dan tugas serta fungsinya dituangkan dalam peraturan pemerintah, dalam hal ini Menakertrans menafsirkan kata-kata “Jenis Program Asuransi” dalam pasal 68 ayat (2) UU PPTKLN dapat berupa asuransi komersial maupun asuransi komersial (Erman Suparno Upaya yang Ditempuh Depnakertrans Melalui Reformasi manajemen Penempatan dan Perlindungan TKI Yang Bekerja Di luar Negeri) pada prakteknya Perusahaan yang menyelenggarakan program asuransi bersifat komersial dan Menakertrans memaksakan untuk menggunakan jasa asuransi pada korosarium asuransi TKI yang bersifar komersial tersebut, bahkan diatur juga saksi pidananya jika tidak membayar asuransi melalui Korosarium Asuransi dan Palang Asuransi tersebut, padahal menurut UU No 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian asuransi yang bersifat komersial jelas tidak bisa dipaksakan.
Dengan
dikeluarkannya kedua kebijakan baik Permenakertrans maupun Kepmenakertrans,
telah terang benerang menunjukkan penyalahgunaan kewenangan, karena telah
memperkaya perusahaan asuransi komersial dengan dalih untuk melindungi TKI,
dengan memerintahkan Perusahaan Jasa TKI mengurus asuransinya pada perusahaan
dan pialang Asuransi yang bersifat komersial.
Dalam hal ini penyalah gunaan kewenangan ini di tunjukkan oleh dikeluarkannya keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang menyatakan agar Menakertrans segera Mencabut Kepmenakertrans segera mencabut Kepmenakertrans No. : Kep- 280/MEN/VII/2006 yang merupakan yang didasarkan pada Permenakertrans 23/MEN/V/2006. Kedua kebijakan tersebut harus segera dibatalkan karena melanggar UU No.5 Tenhun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Bisnis Indonesia, Jumat, 15-9-2006) Lebih ironis lagi Permenakertrans/ Kepmenakertrans itu justru bertentangan dengan UU PPTKLN khususnya pasal 5, 6, 7 dan 80 yang prinsipnya menyatakan bahwa perlindungan TKI, termasuk pemberian bantuan hukum di Negara tujuan penempatan TKI menjadi ruang lingkup pertangungan asuransi, adalah tanggungjawab Negara dan sekaligus hak TKI sebagai warga Negara.
Dalam hal ini penyalah gunaan kewenangan ini di tunjukkan oleh dikeluarkannya keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang menyatakan agar Menakertrans segera Mencabut Kepmenakertrans segera mencabut Kepmenakertrans No. : Kep- 280/MEN/VII/2006 yang merupakan yang didasarkan pada Permenakertrans 23/MEN/V/2006. Kedua kebijakan tersebut harus segera dibatalkan karena melanggar UU No.5 Tenhun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Bisnis Indonesia, Jumat, 15-9-2006) Lebih ironis lagi Permenakertrans/ Kepmenakertrans itu justru bertentangan dengan UU PPTKLN khususnya pasal 5, 6, 7 dan 80 yang prinsipnya menyatakan bahwa perlindungan TKI, termasuk pemberian bantuan hukum di Negara tujuan penempatan TKI menjadi ruang lingkup pertangungan asuransi, adalah tanggungjawab Negara dan sekaligus hak TKI sebagai warga Negara.
PSAK 62: Kontrak Asuransi
, PSAK 28: Jiwa
dan PSAK 36: Kerugian
- Mengatur à Kontrak Asuransi: Life dan non-life, kontrak asuransi langsung (direct insurance) dan reasuransi.
- Karakteristik:
§ Salah satu pihak (insurer) secara signifikan
menerima risiko asuransi (insurance risk);
§ Ketidakpastian kejadian masa depan;
§ Mengandung risiko asuransi (insurance risk) dan
risiko lain. Namun risiko asuransi dan risiko lain seperti risiko keuangan (financial
risk) yang timbul dalam kontrak asuransi harus dipisahkan.
§ Tes kecukupan liabilitas
- Insurer menilai kecukupan liabilitas asuransi dengan menggunakan estimasi kini atas arus kas masa depan
- Jika nilai tercatat liabilitas asuransi tidak mencukupi dibandingkan estimasi arus kas masa depan, maka kekurangan harus diakui dalam laporan laba rugi.
Selama
ini kecurangan sistem asuransi tenaga kerja Indonesia (TKI), terutama terhadap
TKI yang mengalami masalah saat bekerja di luar negeri, tidak banyak yang
diungkap dan dipermasalahkan. Kasus ini seakan dianggap hal yang lumrah saja
dan tidak perlu dipermasalahkan. Padahal, kasus kecurangan itu secara
sistematis telah banyak memakan korban TKI yang mengalami masalah serius,
misalnya yang mengalami kecelakaan kerja, meninggal dunia, penyiksaan,
pemerkosaan, pelecehan seksual, PHK sepihak, majikan bermasalah, TKI yang gila,
TKI yang hilang, TKI yang di bawah umur, TKI yang dipekerjakan tidak sesuai
dengan perjanjian kerja, dan upah mereka yang tidak dibayar oleh pihak majikan,
pada saat pulang kedalam negeripun sangat sulit untuk memperoleh klaim asuransi
yang menjadi hak TKI sesuai dengan penerapan IFRS pada PSAK 62: Kontrak Asuransi , PSAK 28: Jiwa dan PSAK 36: Kerugian maka Mengandung risiko asuransi (insurance risk)
dan risiko lain. Namun risiko asuransi dan risiko lain seperti risiko keuangan
(financial risk) yang timbul dalam kontrak asuransi harus dipisahkan. Maka atas kejadian penyimapangan dana seperti yang
dijelaskan diatas risiko asuransi dan risiko lain seperti risiko keuangan (financial
risk) yang timbul dalam kontrak asuransi harus dipisahkan.
Sumber :
·
Htttp://Dwi Martani/Departemen Akuntansi
FEUI.com